SIDOARJO – Komisi D DPRD Sidoarjo berjanji akan segera memanggil pihak-pihak terkait guna menuntaskan silang-sengkarut dana pagelaran wayang kulit gagrak Porongan sebesar Rp 600 juta yang tersurat di APBD 2024 ini.
“Informasi ini akan kami jadikan masukan awal. Setelah ini kami akan undang Dikbud (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan-red), juga Dekesda (Dewan Kesenian Sidoarjo), termasuk perwakilan dalang untuk mencari solusi terbaik dalam masalah ini.”
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo, Abdillah Nasikh di penghujung hearing atau Rapat Dengar Pendapat dengan perwakilan dalang wayang kulit di kantornya, Rabu (21/02/2024) sore tadi.
Menurutnya, kasus tersebut mesti segera diselesaikan agar dana yang sudah teranggarkan di APBD tersebut bisa terserap maksimal. “Tapi yang terpenting uang tersebut bisa membawa manfaat bagi masyarakat,” tuturnya.
Sebelumnya, perwakilan dalang, Tawar Gonzalez menceritakan secara rinci kronologi munculnya anggaran itu di forum hearing tersebut. “Awalnya ya saat kami beraudiensi dengan Gus Muhdlor (Bupati Sidoarjo-red) beberapa waktu lalu. Kami sambat (mengeluh-red) kalau sekarang ini sudah jarang ada yang nanggap wayang kulit, terutama gagrak Porongan yang menjadi ciri khas Sidoarjo,” sebutnya.
Selanjutnya, Bupati pun berjanji akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 600 juta di APBD untuk membiayai pementasan produk kesenian lokal itu di 12 lokasi yang berbeda sepanjang tahun 2024. Sedangkan teknis pelaksanaannya diserahkan pada Dekesda.
“Waktu itu Gus Bupati langsung manggil Kartini (Kabid Kebudayaan dan Sastra Dikbud-red) yang juga ada disitu dan bilang begitu,” ujar Tawar.
Namun ternyata perintah itu tidak semuanya diindahkan setelah proses penganggarannya dituntaskan.
“Dia (Kartini-red) nggak mau melibatkan Dekesda. Bahkan nilai uangnya juga ditentukan sepihak. Ini yang kemudian menjadi masalah. Apalagi saat kami bicara dengan Kepala Dinas Dikbud kemarin, ia sampai mengancam tidak akan menyerap dana itu kalau pengelolaannya diserahkan ke Dekesda. Kami dengar dia bilang begitu ke kepala dinasnya sendiri,” imbuh dalang senior tersebut.
Padahal, pihak Dekesda sendiri sudah membuat perencanaan yang matang terkait pagelaran wayang kulit yang didanai Pemkab Sidoarjo tersebut. Mulai dari lokasinya sampai teknis penyelenggaraannya sudah ditata sangat rinci dan detil.
Karena itu para dalang pun sepakat untuk memberikan kontribusi ke Dekesda guna mendukung program kerja komunitas para seniman tersebut. “Kami sudah siap berikan Rp 10 juta setiap pagelaran. Uang itu bisa dipakai Dekesda untuk membuat lomba pedalangan atau sebagainya. Yang penting tujuannya adalah melestarikan budaya luhur kita,” tandas Tawar lagi.
Tapi semua itu dimentahkan saat Kartini menghubungi sendiri Ki Pringgo, salah seorang dalang muda Sidoarjo. Ia diminta menggelar pertunjukan di Desa Candi Pari Porong pada 26 Pebruari nanti, namun honor yang diberikannya hanya Rp 21 juta.
“Lha ini yang kemudian menjadi pertanyaan kami, sisa uangnya dikemanakan? Karena harusnya dananya Rp 50 juta untuk setiap pagelaran. Tapi Kartini tetap memaksa bahkan terkesan memerintah seakan-akan saya ini anak buahnya. Malah ia ngancam tidak akan memakai saya lagi di pagelaran selanjutnya,” imbuh Ki Pringgo.
Atas dasar itulah, ia bersama para dalang lainnya meminta bantuan DPRD Sidoarjo untuk menjembatani masalah ini agar dicarikan solusi. Semua ini mereka lakukan agar kesenian wayang kulit, terutama gagrak Porongan tetap lestari sebagai warisan budaya asli Sidoarjo.
Sementara itu, pengurus Dekesda, Autar Abdillah menandaskan terjadinya persoalan ini menjadi bukti nyata tidak berjalannya program reformasi birokrasi di Pemkab Sidoarjo. “Karena itu kalau tadi teman-teman dalang meminta agar bupati mengganti Kartini dari jabatan Kepala Bidang Kebudayaan, saya ikut mendukung,” pungkasnya tegas.